Puasa Ajarkan Anti Korupsi

Oleh: Putra Tondi Martu Hasibuan, S.H.I., M.H.

PUTR TONDIbart“Inequality fosters corruption and corruption leads to more inequality- ketidaksetaraan menumbuhkan korupsi, dan korupsi melahirkan ketimpangan”. Eric M. Uslaner dalam Debate of Corruption and Integrity).

Ketimpangan merupakan anak kandung yang lahir dari rahim korupsi. Dampaknya begitu masif menjalar ke seluruh lini tanpa terkecuali. Sehingga, menjadi sebuah aksioma bahwa korupsi merupakan bencana kehidupan. Bencana yang akan terus menghadirkan kepiluan. Tak ada kata puas jika telah candu menyelaminya.

Laku korup merupakan perbuatan amoral, dimana sikap hipokrit dan rakus mengendap dalam diri. Demoralisasi akan terus berlanjut tanpa mengenal waktu dan usia jika tidak segera ditemukan resep dan penawarnya. Karena laku korup merupakan masalah moral, maka pendekatan yang dilakukan untuk memupusnya adalah dengan kesadaran diri. Menemukan kesadaran diri yang hakiki guna kembali pada pribadi yang bermoral, menjadi salah satu nilai yang terkandung dalam ibadah puasa.

Selengkapnya KLIK DISINI

Oleh: Putra Tondi Martu Hasibuan

Bulan penuh berkah kembali menyapa. Kehadirannya selalu dinanti setiap muslim di manapun berada. Karena, di dalamnya tersimpan sejuta kebaikan tak terkira dan hikmah yang tak bertepi. Semarak menghidupkan malam-malamnya senantiasa menjadi kebahagiaan tersendiri. Menjalani siangnya dengan berbagai aktivitas dalam bingkai ibadah puasa menambah kebermaknaannya.

Namun, Ramadhan kali ini terasa begitu berbeda dengan bulan ramadhan sebelum-sebelumnya. Ia hadir di tengah berkecamuknya pandemi virus corona yang merambah seantero dunia. Virus yang tidak mengenal suku bangsa, agama, dan ras. Virus yang tidak memilih dan memilah korban berdasarkan negara barat atau timur.

Virus yang tidak pilih kasih terhadap mereka yang berpunya dan mereka yang kurang beruntung. Dan, virus yang tak pernah memandang status sosial seseorang. Umat muslim dihadapkan pada realitas, bahwa ibadah pada bulan ini bisa saja tidak semeriah bulan ramadhan di tahun-tahun yang telah dilewati.

Proporsinalitas Kesalehan di masa Pandemi

Pandemi virus corona tersebut bukanlah suatu hal yang dijadikan alasan sebagai instrumen legitimasi menurunnya intensitas ibadah, berkurangnya kuantitas penghambaan kepada-Nya, maupun dipangkasnya kualitas dan mutu kesalehan. Dalam situasi seperti ini, seharusnya menjadi tantangan untuk mampu menyerap kekuatan diri dan menyalurkannya dalam bentuk ibadah yang lebih baik.

Memilih untuk beribadah di rumah, baik untuk shalat berjamaah, tadarus al-Qur’an, pun juga dengan ibadah-ibadah lainnya, bukan semata mengikuti anjuran pemerintah, namun harus juga dimaknai sebagai ikhtiar menghindarkan diri dari kemudharatan. Lebih jauh, beribadah di rumah juga sebagai sarana membangun komunikasi dan harmoni dalam keluarga.

Waktu yang selama ini tercerabut dan terampas akibat kesibukan masing-masing dalam keluarga, kembali dipersatukan. Quality Time yang begitu sulit untuk diwujudkan, menemukan kembali maknanya. Suasana keluarga yang senantiasa dipenuhi keheningan dan kesunyian, berubah menjadi riuh dengan canda tawa yang hadir silih berganti. Begitu indah.

Ibadah tersebut di atas masih dalam bentuk kesalehan individual. Kesalehan individual sejatinya belum sempurna jika berjalan secara parsial. Ia semata baru memenuhi kewajiban seseorang terhadap dirinya sendiri. Dengan demikian, harus dikombinasikan dengan kesalehan sosial. Bahkan, indikator keberhasilan seseorang telah merengkuh kesalehan individual dalam dirinya adalah secara simultan tergeraknya hati dan jiwa untuk berbuat kepada sesama.

Terlebih, dalam situasi yang penuh dengan ketidakpastian di tengah pandemi pada hari ini, banyak saudara-saudara kita yang harus merelakan kehilangan pekerjaan, melepaskan penghasilan, dan berhadapan dengan rasa khawatir dan cemas. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan yang berujung pada kelaparan mengitari alam pikiran mereka. Menakutkan.

Pada posisi inilah, kesalehan sosial mengambil peran yang begitu vital. Kesalehan sosial harus mampu menjembatani kecemasan dan kekhawatiran menjadi secercah harapan. Kesalehan sosial juga berperan sebagai stimulus energi kebahagiaan di tengah tetesan air mata. Dan, Kesalehan sosial sesungguhnya telah menjadi penyangga semakin dalam dan menganganya jurang kesulitan hidup.

Bagi mereka yang diberi anugerah berlebih dan dikaruniai rezeki berlimpah, ditantang untuk rela berbagi terhadap sesama, melepaskan jubah kekikirannya, dan menempatkan ego di belakang bayangannya. Sarana berbagi begitu banyak Allah sediakan, baik dengan zakat, infak,  sedekah, dan lain sebagainya. Kedermawanan tersebut tentu saja tidak hanya bermanfaat bagi si pemberi, namun juga si penerima. Proporsionalitas dalam menjalankan peran dalam kehidupan akan melahirkan harmoni.

Juara Sejati

Output utama yang akan diperoleh bagi mereka yang berpuasa adalah ketaqwaan. Hal ini diungkapkan langsung oleh Allah dalam Surat Al-Baqoroh ayat 183. Namun, output tersebut tidak diberikan kecuali bagi mereka-mereka yang mampu menyeimbangkan kesalehan individual dan kesalehan sosial.

Hal ini dapat dipahami, karena hikmah puasa sejatinya tidak hanya mengajarkan untuk menahan rasa lapar dan dahaga semata, namun juga dapat merasakan perjuangan saudara-saudara seiman, yang di luar bulan Ramadhan pun harus menahan lapar dan dahaga. Apalagi, dalam kondisi seperti hari ini.

Panggilan terhadap diri untuk mau berbagi meringankan beban mereka menjadi salah satu poin penting dari nilai ketaqwaan. Jika perasaan tersebut benar-benar telah tumbuh dalam diri, maka sesungguhnya tamu dari langit yang bernama bulan Ramadhan benar – benar telah dilayani dan dihargai dengan baik.

Mereka yang telah melayani dan menghargai tamu dari langit itulah Sang Juara Sejati yang mampu mengambil sejuta hikmah yang terkandung di dalamnya. Tamu dari langit sungguh telah mengajarkan kebersamaan. Harmoni.